Investasi Asing Kelapa US$100 Juta, RI Panen Lapangan Kerja?

Ringkasan

• Indonesia berhasil menarik investasi asing senilai US$100 juta atau sekitar Rp1,64 triliun (asumsi kurs Rp16.480 per dolar AS) di industri hilirisasi kelapa. Pabrik pengolahan kelapa ini dibangun oleh perusahaan terkemuka asal China, dengan groundbreaking yang telah dilakukan di Morowali, Sulawesi Tengah, dan rencana ekspansi ke beberapa kota lain.
• Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, Rosan Perkasa Roeslani, menyatakan bahwa investasi ini akan menciptakan nilai tambah bagi komoditas kelapa yang selama ini diekspor mentah, serta membuka lapangan kerja baru di sektor perkebunan dan industri terkait. Ini juga diharapkan dapat mengatasi keterbatasan pasokan kelapa di dalam negeri.
• Pengamat dari Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal, mendukung penuh investasi ini karena potensi efek berganda (multiplier effect) yang besar, terutama dalam penciptaan lapangan kerja. Namun, ia menekankan pentingnya peningkatan produktivitas dan produksi bahan baku kelapa nasional melalui peremajaan lahan tidak produktif agar hilirisasi tidak terhambat.
• Perkembangan investasi ini terjadi di tengah dominasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang mencatat pertumbuhan signifikan pada kuartal II/2025, mencapai Rp275,5 triliun atau tumbuh 30% (yoy), mengungguli penanaman modal asing (PMA) dengan selisih Rp73,3 triliun.
• Sektor energi juga menunjukkan potensi besar dalam penyerapan tenaga kerja, dengan Kementerian ESDM memproyeksikan mampu membuka 6,2 juta lapangan kerja, didorong oleh kebutuhan listrik dan investasi pembangkit, serta hilirisasi energi bersih seperti ekosistem baterai kendaraan listrik.
• Meskipun demikian, iklim investasi di Indonesia masih menghadapi tantangan seperti praktik premanisme yang meresahkan dunia usaha dan dapat menghambat masuknya investasi asing, serta fenomena PHK massal yang memicu masalah sosial.
• Di sisi lain, daya beli masyarakat masih menjadi perhatian. Meskipun ada insentif PPN DTP untuk properti, penjualan rumah komersial masih menurun karena pelemahan daya beli, yang juga tercermin dari fenomena 'Rojali' (rombongan jarang beli) dan 'Rohana' (rombongan hanya nanya) di pusat perbelanjaan.