BI Pangkas Suku Bunga Jadi 5,25%, IHSG Melonjak Setelah Tarif Trump Turun ke 19%

Ringkasan

• Bank Indonesia (BI) secara mengejutkan memangkas suku bunga acuannya (BI Rate) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,25% pada Juli 2025. Keputusan ini juga mencakup pemangkasan suku bunga Deposit Facility menjadi 4,5% dan Lending Facility menjadi 6,0%. Ini merupakan pemangkasan suku bunga ketiga di tahun ini, setelah sebelumnya dipangkas pada Mei dan Januari. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan keputusan ini konsisten dengan perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang rendah serta terkendali (2,5% ± 1%), menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Analis dari Bank Permata, Josua Pardede, menilai masih ada ruang bagi BI untuk memangkas suku bunga tambahan 25-50 bps hingga akhir tahun 2025 untuk mendorong sektor riil, meskipun transmisi kebijakan moneter perlu dipercepat.
• Pemangkasan suku bunga ini, bersamaan dengan kabar baik dari AS, disambut positif oleh pasar keuangan domestik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,72% atau 51,52 poin menuju posisi 7.192,01 pada Rabu, 16 Juli 2025. Penguatan ini menandai tren positif selama delapan hari beruntun jika bertahan hingga akhir sesi. IHSG bahkan sempat menyentuh level tertinggi 7.216,81. Saham-saham sektor perbankan, khususnya yang memiliki Cost of Fund (CoF) relatif tinggi seperti PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), diperkirakan akan diuntungkan. Sektor teknologi juga memimpin rally dengan IDXTECHNO melonjak 6,10%. Analis memprediksi IHSG berpotensi menguat lebih lanjut ke kisaran 7.350 hingga 7.500, dengan saham-saham big caps perbankan seperti BBRI, BMRI, dan BBCA menjadi pendorong utama. Saham-saham IPO baru seperti PT Chandra Daya Investama Tbk (CDIA) dan PT Coin Digital Indonesia Tbk (COIN) juga mencatatkan auto rejection atas (ARA), meskipun BEI kemudian mensuspensi kedua saham tersebut.
• Kabar gembira datang dari Amerika Serikat (AS) terkait tarif impor. Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa besaran tarif impor untuk barang dari Indonesia yang masuk ke AS turun menjadi 19%, lebih rendah dari ancaman sebelumnya sebesar 32%. Penurunan tarif ini merupakan bagian dari kesepakatan dagang bilateral yang dicapai setelah negosiasi panjang, di mana AS akan mendapatkan akses penuh ke pasar Indonesia serta komitmen pembelian energi senilai USD15 miliar dan produk pertanian senilai USD4,5 miliar, ditambah 50 unit pesawat Boeing. Kesepakatan ini juga mencakup penerapan tarif penalti bagi barang asal Tiongkok yang masuk melalui Indonesia. Trump memuji Presiden RI Prabowo Subianto sebagai "great president" dalam konteks kesepakatan ini.
• Meskipun rupiah sempat melemah tipis pada 15 Juli 2025 ke posisi Rp16.255/US$ dan indeks dolar AS (DXY) menguat selama tujuh hari beruntun hingga 14 Juli, penurunan tarif Trump diharapkan dapat meredakan ketegangan perang dagang dan memberikan respons positif bagi perdagangan Tanah Air. Produk-produk Indonesia, seperti udang, kayu, dan panel surya, diharapkan menjadi lebih kompetitif. Tarif 19% ini masih terbilang tinggi namun jauh lebih baik dibanding 32% dan relatif lebih rendah dari negara Asia Tenggara lain seperti Myanmar (40%), Thailand (36%), Malaysia (25%), dan Vietnam (20%). Josua Pardede mengingatkan BI harus tetap waspada terhadap risiko pelemahan nilai tukar rupiah jika The Fed mempertahankan atau menaikkan suku bunga.
• Dari sisi eksternal, inflasi AS pada Juni 2025 naik menjadi 2,7% (yoy), dengan inflasi inti 2,9% (yoy), memicu kekhawatiran dan membatasi ruang pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed). Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II-2025 mencapai 5,2% (yoy), melampaui ekspektasi pasar, meskipun ada tanda-tanda perlambatan momentum pemulihan. Pergerakan pasar obligasi global menunjukkan imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun naik menjadi 4,487% dan obligasi Jepang 10 tahun mencapai 1,595%, tertinggi sejak 2008. Ketegangan hubungan AS-Tiongkok, ancaman tarif Trump terhadap Uni Eropa dan Meksiko sebesar 30%, serta isu mengenai pengunduran diri Ketua The Fed Jerome Powell, tetap menjadi perhatian investor.